"A good learner is absolutely different from a good achiever"...
Masih teringat dua tahun lalu, saat pengambilan rapor kakak Dhyani. Pertama kalinya saya menerima laporan hasil belajar anak ketika Dhyani duduk di bangku SD. Ya, rapor pertamanya....
Sebuah dialog yang terjadi antara saya dengan guru wali kelas Dhyani:
Guru: "Bu... Mohon maaf... Dhyani tidak mendapat peringkat pertama. Dia hanya peringkat ketiga di kelas."
Saya: "Apa? Maksudnya bagaimana Bu?" (Tercengang dengan ekspresi bagai anak kecil bangun tidur melihat seekor jerapah).
Guru: "iya bu... Dhyani itu sebenarnya sangat pintar. Hampir semua pelajaran, nilai dia tertinggi di kelas. Lebih tinggi dr yg peringkat 1. Tapi sayangnya, dia tidak terlalu suka membaca Quran. Sedangkan Al Quran termasuk salah satu muatan lokal di sekolah ini. Jadi cukup menentukan peringkat siswa."
Saya: "Oooh begitu... (Sambil tersenyum, mengangguk2 tanda paham). Ehm... Sebelumnya, saya sangat berterima kasih Bu, atas atensi dan apresiasi Ibu terhadap anak saya. Tapi saya perlu menyampaikan bahwa saya sangat gembira dengan apapun yang telah dicapai oleh Dhyani. Saya menyekolahkan Dhyani untuk menjadi pembelajar, bukan memburu predikat, Bu... Jadi, bagi saya, sudah cukup menggembirakan bagi saya jika mengetahui Dhyani menikmati proses belajar di sekolah."
Guru: "Oh gitu ya Bu. Tapi kan sayang Bu. Dhyani itu pintar sekali lho Bu... Terbukti, dia sangat kritis dalam setiap kesempatan. Dia tak segan-segan menyampaikan protes bila ada sesuatu yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Dan cara serta pengetahuannya sungguh luar biasa."
Saya: "alhamdulillaah... Saya senang mendengarnya... Tapi mohon maaf Bu. Untuk hal yang dia belum sukai atau belum sanggup menguasainya, saya tidak akan memaksanya untuk ia kuasai saat ini, Bu. Meskipun itu menjadi muatan lokal. Bagi saya, kesenangan dan antusias Dhyani mempelajari sesuatu lah, yang lebih berharga dari apapun."
Guru: "apa tidak bisa dibantu Bu, misal dengan ikut TPA atau pengajian di dekat rumah?"
Saya: "Itu bisa-bisa saja Bu. Tapi saya mengajaknya mengaji, bila memang itu juga cukup memberi kesenangan baginya. Kalau hanya menjadi beban, tidak akan saya lakukan. Tapi saya akan mengajarinya sendiri di saat saya merasakan waktunya tepat." (Sambil mbatin ini guru pasti berpikir saya ortu yang suka ngeyel).
Guru: "Oh, ya sudah kalau menurut ibu seperti itu. Kami hanya menyayangkan saja Bu... Tapi ibu tidak masalah kan, jika Dhyani tidak mendapat peringkat pertama?"
Saya: "sekali lagi Bu, buat saya, yang penting bagi anak saya adalah dia menikmati kegiatan belajar, sehingga menuntut ilmu di sekolah pun menjadi sebuah proses yang menyenangkan seperti halnya di rumah."
Guru: "baiklah, Bu... Salam sayang ya Bu, untuk Dhyani..."
Saya: "terima kasih, Bu, atas perhatian dan kasih sayang Ibu dan semua warga sekolah ini"
Saat di rumah, ayah Dhyani hanya tersenyum mendengar kutipan dialog kami. Pertanda sangat memahami situasi.
Perjalanan berlanjut. Saya, dengan keterbatasan waktu (harus membanginya dengan putera kedua), tidak bisa banyak membantu kakak belajar. Saya hanya memantaunya dengan setiap hari menanyakan apakah ada tugas dan apa perlu bantuan dalam belajar. Hanya dua minggu sekali, saya mengontrol materi pelajarannya untuk selanjutnya kami jadikan bahan dikusi dengannya, termasuk Al Quran. Dia enjoy sekali, dan sangat antusias... Selebihnya, kami terus belajar untuk lebih banyak menikmati waktu bersama dengannya...
Semester kedua kakak bahkan mendapat peringkat 6, dan kami santai saja. Kami hanya bertanya, apakah dia senang belajar di sekolah. Kami bersyukur ia selalu menjawab senang sekali.
Saat kakak di bangku kelas 2, saya malah sama sekali tidak tahu peringkatnya karena kebetulan giliran ayah yang mengambil rapor. Bahkan ayah menjawab tidak tahu jika saya tanya tentang peringkat kakak.
Dua tahun berlalu. Tiba saat penerimaan laporan hasil belajar semester pertama kelas 3. Saat saya maju mendekat guru walikelas, belum sampai duduk, sang guru langsung berseru: "Ibuuu... Selamat ya, Dhyani ranking pertamaa..."
Waduuh... (Lho kok malah waduh?) Jujur, saya agak shock dengan cara sang guru menyampaikan "kabar baik" itu. Agak heboh, menurut saya...
Dan ini dialog kami saat itu:
Guru: "Selamat ya Bu..."
Saya: "ya, trima kasih Bu... Bagaimana Dhyani Bu?"
Guru: "wah, memang pintar sekali..."
Saya: "ehm... Maaf Bu... Yang ingin saya tanyakan, apa saja yang perlu diperhatikan. Seperti karakter atau kepribadiannya, apakah ada yang perlu diperbaiki. Karena ini yang bagi kami lebih penting..."
Guru: "oh... Ya ya yaa... Dia hampir tidak ada masalah Bu, termasuk dalam pergaulan dengan teman-teman. Hanya saja, dalam hal fokusnya dalam memperhatikan pelajaran. Dia masih saja suka ndableg. Kalo guru bicara, dia sibuk menggambar..."
Saya: #plaak...(Tepok jidat deh)#... "Ya ampuuun... Mohon maaf ya Bu... Saya juga masih terus memberinya pengertian. Tapi kelihatannya saya pun harus bersabar..."
Guru: "ya bu... Kami juga berusaha. Walau saat diingatkan dia mengatakan "oh iya iya Bu..". Cuma yang kami heran, meski dia sibuk dengan aktivitasnya, setiap saya tanya apa yang kami sampaikan, dia bisa menjawabnya dan benar Bu... Makanya kami suka dibuat geli oleh ulahnya..."
Saya: "mungkin memang begitu Bu, caranya enjoy menikmati pelajaran. Maaf ya Bu, kalau anak saya terkesan tidak respek..."
Guru: "tidak apa Bu... Kami semua guru sudah mengenalinya, jadi bisa memahaminya..."
Saya: "aduh, terima kasih, Bu..."
Sampai rumah, bahkan Dhyani pun tidak percaya kalau dia ranking 1. Saya malah bertanya padanya, apa yang membuat prestasinya membaik menurut dia. Diapun mengeluarkan secarik kertas dan menunjukkan sambil berkata,
"Dari semuanya, ini yang paling besar pengaruhnya buat kakak, bahkan dibanding usaha kakak. Apa ibu masih ingat, pernah memberi ini saat kakak mau ujian akhir semester?"
Saya: "hmm... Maaf, ibu hampir lupa..."
Kakak: "terima kasih ya Bu, dukungan ibu sangat berarti buat kakak."
Yah... Secarik kertas dengan note sederhana:
"Sukses ya matahariku... Ibu sayang kakak"
Dari sini, saya semakin yakin. Bahwa ternyata, bila ingin mengoptimalkan potensi buah hati, bukan dengan memberinya tekanan atau paksaan, melainkan memberi mereka semangat dan kepercayaan, dan menuntunnya untuk menemukan kekuatannya...
Dan menjadikan putera-puteri kita sebagai pembelajar, jauh lebih bijak dan manusiawi daripada menjadikan mereka sebagai peraih predikat...