Tuesday, December 4, 2018

Anak Highly-Sensitive, Ada Apa Di balik Kehadirannya?

Sekian tahun, ruang maya ini sepi.

Kalau mau dicari-cari, tentu ada saja alasannya. Sibuk pekerjaan lah, sibuk urusan anak yang begini begitu lah, sibuk urus mama yang sakit, dan terus ada saja berbagai hal yang bisa menjadi alibi.

Kenyataan memang ya, namun lebih tepatnya, saya telah kehilangan semangat menulis selama beberapa waktu. Kenapa? Tidak punya bahan? Tidak juga. Tak akan pernah hilang bahan bakar untuk dipantik menjadi sebuah tulisan yang menggairahkan. Namun, ketidakcanggihan saya saja dalam hal mengelola waktu dan pikiran. Selama ini, saya selalu membangun barrier yang membatasi kemampuan diri. Saya meyakini bahwa otak tidak bekerja multi-tasking antara tugas menggambar dan menulis. Jadi ketika saya sedang banyak pekerjaan mendisain landscape, maka spirit menulis saya seperti terbekukan. Wallahu alam. Karena sekarang memang kebetulan saya sedang mempunyai jeda waktu juga, hehehe...

Ini tentang anak.
Sepuluh tahun usiaya tahun ini. Namun saya merasa, saya belum melihat beberapa milestone penting dalam pertumbuhan pada dirinya, di beberapa hal. Sederhananya saja, jika diproyeksikan dengan standar usianya.

Saya paham, tidak ada standar khusus, dan satu solusi yang berlaku sama untuk semua anak. Karena sejatinya, setiap anak adalah unik, setiap anak adalah istimewa. Termasuk kedua anak saya, tentunya. Namun kadang, kata istimewa ini bisa berubah menjadi sebuah label bertanda kutip "istimewa", manakala ada hal-hal yang tidak sejalan antara ekspektasi dengan realita. Bukankah begitu Mam?

Yah.. jujur saja, ini yang sedang saya rasakan, saya alami. Si Bungsu, hingga saat ini, masih saja tidak senang dengan sekolah. Apakah karena sekolahnya tidak tepat? Entahlah, saya tidak punya ukuran tat ke sekolah dengan semangat yang datang dari dalam dirinya. Adakah kendala di sekolah? Ini pun sudah berjuta kisah bergulir. Baik itu kisah yang benar-benar terjadi, ataupun kisah-kisah fiktif ciptaannya. Pokoknya, saya sekarang merasa, banyak sekali perubahan pada dirinya sejak sekolah, baik yang ke arah positif, maupun negatif. Karena di setiap tahun ajaran, ada saja kejadian dia "tersandung" trauma. Entah itu oleh sikap guru, sikap teman, materi akademik, atau kejadian luar biasa yang membangkitkan kepanikan massal seperti gempa bumi.

Sejauh saya mengenali  Si Bungsu, dia adalah anak yang sangat baik. Sisi hatinya yang lembut bisa membuat luruh dinding hati saya jika sedang membeku kronis. Namun di sisi lain, dia adalah anak yang juga sulit mengendalikan emosi (ini mirip saya, sepertinya hehehe). Jika marah, bisa meledak-ledak. Tapi dia hanya mampu marah kepada saya, apapun dan siapapun penyebab kemarahannya. Selalu saya yang harus menjadi tempatnya melampiaskan emosi. Atau kadang, tapi jarang, kepada kakaknya yang perempuan. Sedih kan? Jadi, dengan begitu banyaknya pemicu kemarahan yang kadang saya belum pahami, saya sudah menjadi "stres-ball" yang siap menerima terpaan badai emosinya. Untungnya, seiring bertambahnya usia, badai itu sedikit demi sedikit menurunkan intensitasnya. Mungkin karena ada proses kesadaran yang berkembang.

Sejak awal perjalanan sekolah (TK), hingga saat ini (SD kelas 4), begitu banyak kisah yang bisa saya ceritakan. Namun untuk menjaga agar tulisan ini tetap dapat dinikmati, dan mudah juga bagi saya meninjaunya kembali, saya akan membagi kisah-kisah tersebut dalam beberapa tema. Kali ini adalah tentang Hyper-sensitivity pada anak, yakni yang dialami anak saya khususnya.

Berawal dari sebuah kejadian kecil di sebuah rumah makan dalam Rest Area KM 97. Saat kami beristirahat dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta, kami berhenti untuk makan siang. Kami sedang duduk, makan berempat. Tiba-tiba masuklah serombongan ibu-ibu beretnis Batak, berbicara seru dengan nada yang menurut kami, ya normalnya Orang Batak. Tak disangka, tiba-tiba si Bungsu yang waktu itu berusia sekitar tiga tahun menjadi pucat, berlari keluar lantas menangis dan meminta kami segera pulang. Dari sudut matanya, kami menangkap ada ekspresi ketakutan. Rupanya para ibu-ibu tadi itulah sumbernya. Hahaha, sebenarnya kami geli. Tapi kami tahan sambil berupaya menjelaskan, bahwa mereka bukan sedang marah-marah, melainkan memang timbre (warna) suara Etnis Batak memang seperti itu. Tapi tak ada gunanya. Mungkin suara (yang terdengar olehnya) keras terlanjur melukai hatinya. Ya Tuhan... dia se-sensitif ini kah? Tanya kami bertiga saat itu. Kami juga cukup kaget dibuatnya. Tapi kami jadi belajar.

Salah Duga

Dengan beberapa peristiwa serupa yang terulang, tentu kami mempunyai dugaan, bahwa anak saya sensitif terhadap suara. Auditory-sensitive, meminjam istilah kawan saya di facebook pada suatu hari. Hingga suatu hari, karena sensitivitasnya yang sudah cukup mengganggunya, kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan Psikolog. Karena, pada kasus terakhir, agak aneh. Traumanya bukan dipicu oleh suara, namun oleh ilustrasi buku. Jadi cenderung visual, bukan auditori. Hasil observasi menunjukkan, ternyata dia cenderung visual. Sebuah ilustrasi buku yang menurutnya begitu mencekam dan mengisyaratkan sebuah terorisme atau kekejaman telah membuatnya cukup lama mogok sekolah. Pasalnya, buku itu adalah salah satu koleksi buku sekolah, yang kebetulan dipajang di rak buku kelasnya. Walhasil, ketika pun dia bersedia berangkat ke sekolah, kondisinya sangat bersyarat. Saya harus mengantarnya hingga ke depan kelas. Dan sebelum ia masuk, saya harus memastikan bahwa guru walikelas nya telah benar-benar menyingkirkan buku itu dari rak buku kelas. Setelah saya pastikan tak ada, baru ia masuk ke dalam kelas. Luar biasa. Ternyata rumit sekali memiliki anak yang highly-sensitive. Dan menurut psikolog, bagi anak-anak sepertinya, ilustrasi yang terlalu ekstrim juga dapat berdampak negatif, dan cenderung berbahaya, karena anak-anak seperti ini cenderung mengembangkan imajinasinya.

Highly-Sensitive Ternyata Ada Hikmahnya

Di balik kerumitan yang kami rasakan, dimana kami harus selalu berhati-hati dalam proses tumbuh kembang anak kami, ternyata perlahan-lahan kami menemukan banyak sekali hikmah dan manfaat. Khususnya bagi kami, orangtuanya. Seiring dengan berjalannya waktu, sensitivitas anak saya semakin mudah terlihat polanya. seiring berjalannya waktu, kami semakin banyak belajar dari kondisinya. Sensitivitasnya, ternyata begitu halus. Dia tidak hanya peka terhadap suara yang jangkauan frekuensinya jauh di atas rata-rata, namun juga peka terhadap segala stimulan yang diterima, termasuk pilihan kata-kata. Dan piala penghargaan prestasi dalam bidang bahasa (ketika lulus TK) menjadi saksi sekaligus bukti kepekaannya ini.

Adalah suatu malam, ketika seperti biasanya, dia menelungkupkan badannya, meminta ayah menggaruki punggungnya sebagai ritual pengantar tidur. Sambil menggaruk, ayah mengeluhkan sikap anaknya yang hari itu bolos sekolah (lagi). "Mas, hari ini kamu bolos lagi ya? Ayah kecewa deh. Besok-besok kalau kamu nggak masuk lagi, ayah nggak mau nggaruki punggungmu lagi ah". Kalimat yang dimaksudkan agar anaknya tergerak untuk berubah ini, alih alih mencapai tujuannya, justru menjadi bumerang. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, anak kecil itu hanya mengacungkan ibu jari dengan posisi terbalik, menghadap ke bawah. Kami berdua pun sontak saling berpandangan. "What's wrong?" pikir kami. Dalam hati kami berupaya keras mengintrospeksi diri. Mungkin pesan yang dimaksudkan memotivasi (menurut versi kami), diterima sebagai sebuah bentuk ancaman. Duh, hanya salah bahasa ternyata. Kami salah memilih kata-kata!

Keesokan paginya, saat si bungsu telah rapi berseragam dan siap berangkat ke sekolah, meski masih jauh dari kata tepat waktu kami tetap berupaya memberi apresiasi. Sebuah kalimat meluncur dari mulut ayah "Naah, gitu dong. Anak ayah keren! Kalau kamu semangat sekolah, ayah juga semangat tiap malam ngeloni kamu sambil menggaruki punggungmu". Wajah yang ceria itu semakin menampakkan sumringah, dan lengannya dinaikkan seraya memutar arah ibu jari yang awalnya diacungkan ke arah bawah. Ya Tuhan... Benar ternyata. Tadi malam kami telah melakukan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedemikian pekanya ia terhadap kata-kata yang kami ucapkan!

Pengalaman pagi itu telah membuat kami takjub, betapa kami sebagai orangtua harus sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan apapun. Sosok hyper-sensitive ini senyatanya telah diturunkan Tuhan sebagai pengingat bagi kami berdua, bahwa ada makhluk kecil yang senantiasa memerhatikan kami, dan belajar tentang kehidupan melalui sikap kami. Sementara bagi kami, kehidupan telah memberi kami pelajaran, melalui kehadiran buah hati kami yang "istimewa" ini.