Sunday, January 20, 2013

Anakmu bukanlah dirimu...

Hari ini, saya merasa mendapat pelajaran berharga. Setelah kemarin, dua hari berturut-turut mengadakan acara di luar rumah yang cukup melelahkan. Layaknya anak-anak, wajarlah bila anak berusia 4 tahun merasa bosan, capek sehingga menjadi rewel. Tapi itu tidak terjadi pada anak saya. Saya jadi ingat sebuah pengalaman yang sampai sekarang sulit saya lupakan.

Damar, anak saya yang berusia 4 tahun mengalami tantrum di rumah salah seorang sahabat saya. Sungguh tak bisa dipercaya. mendengar kata tanrtrum saja bagi saya adalah hal yang asing. Sejauh pengalaman saya, kedua aak saya begitu kooperatif. Tapi kejadian kali itu sungguh luar biasa. Dan saya merasa sangat tertegur oleh pengalaman ini. Saya akui, saat itu saya salah. Karena sebenarnya saya tahu ia tidak merasa nyaman dan jenuh menunggu saya, dan dia juga merasa takut akan sesuatu di sana. Tapi saya mencoba membuatnya menikmati suasana dengan bermain bersama kakaknya dan anak sahabat saya. Ternyata tidak. Yang saya rasakan justru dia seperti terpaksa. Tampak ia tidak merasakan kemistri lingkungan itu. Tanpa saya sadari, ketidak nyamanan ini akhirnya "terobati" oleh sebuah mainan yang ia temukan di sana. Terlihat ketika saya mengajaknya pamit karena merasa kepentingan saya sudah selesai. Ia tidak rela melepaskan benda yang dipegangnya. Walau saya berusaha membujuknya perlahan, namun ia tetap bersikeras memegangnya, bahkan semakin keras. Ledakan tangispun tak terhindarkan, bahkan cukup lama tidak berhenti. Walhasil saya harus menunggu lama sampai perasaannya benar-benar netral dan ia mau melepaskan benda tersebut.

Aneh saya pikir. Di sebuah rumah yang suasananya begitu tenang, nyaman, dengan penghuni yang hangat, saya pikir menjamin ketenteraman perasaan anak saya. Ternyata saya salah. Yang terjadi adalah asumsi saya telah membuat saya mengabaikan jiwa eksplorasi dan titik-titik sensitif pada dirinya yang membuat emosinya menjadi terganggu. Saat sensitivitasnya bekerja, ia mungkin ingin ibunya memeluknya. Tapi itu tidak saya lakukan lantaran saya kurang fokus padanya sehingga tidak seratus persen tanggap pada kebutuhannya.

Akhirnya saya sadari ini ketika saya membawanya ke sebuah acara yang durasinya cukup lama. Saya pikir acara tersebut akan membosankan dan melelahkan baginya, namun ternyata jangankan tantrum. Rewel pun tidak! Asyik, seperti biasanya. Namun memang saya mencoba lebih fokus kepadanya (walau saya juga sambil berkegiatan). Bagusnya, lingkungan juga mengerti sekali akan kebutuhan saya untuk tetap fokus pada anak saya. Optimal! Hanya perlu kesediaan kita untuk fokus memberi perhatian sehingga ia terlihat menikmati suasana meski terkadang harus terpisah dari saya. Dia dengan mudahnya bergabung dengan teman-teman barunya. Padahal saya sendiri tidak tahu siapa orangtua mereka karena orang yang hadir begitu banyak di acara itu.

Dari sini saya juga dapat sebuah pelajaran berharga. Bahwa apa yang menurut kita paling baik, paling ideal bagi anak kita ternyata belum tentu dapat memenuhi apa yang ia butuhkan. Belajar mengenali ekspektasi diri manakala hal ini belum tentu pas jika kita pasangkan pada jiwa anak kita. Dan jika kita tahu apa yang ia butuhkan, then everything comes easily... bukan hanya kooperatif, bahkan lebih dari itu. mereka memberi kita energi ekstra! Awesome...! Anak kita bukanlah diri kita. Mereka memiliki jiwanya sendiri, yang memerlukan ruangnya sendiri walau tetap berada dalam jangkauan mata kita...