Ini kisah tentang perjalanan hidup saya sebagai ibu, pada fase mengantar anak-anak saya, Dhyani dan Damar menuju gerbang pendidikan formal sebagai salah satu bekal hidupnya. Sekolah, yang senyatanya bukan hal sederhana bagi sebagian orang dalam memilihnya.
Perjalanan dimulai ketika kak Dhyani jelang tamat masa bermain dan belajar di TK, yang saat itu kami pilihkan di lingkungan sekitar rumah karena kami baru saja pindah tempat tinggal. Ketika itu, informasi sekolah juga masih sangat minim. Jadi, yang terpenting bagi kami adalah memilihkan TK sebagai sarana bersosialisasi yang cukup aman, nyaman dan menyenangkan bagi kakak. Untungnya ada. Alhamdulillah sangat dekat, hanya berjarak 50 m dari rumah. Jadi bias dijadikan sebagai sarana kakak belajar mandiri tanpa rasa khawatir.
Periode yang cukup menyita energy adalah ketika kak Dhyani mengakhiri masa TK, dan kami mulai melakukan survey ke beberapa SD yang secara geografis lokasinya masih masuk akal dari tempat tinggal kami. Saat itu, saya sedang hamil besar anak kedua. Dari sekian sekolah yang kami observasi bersama, kami mendapat dua kandidat. Yang pertama adalah sekolah negeri unggulan, yang kedua adalah sekolah Katolik ternama. Setelah melalui diskusi mendalam, kami bertiga (saya, suami dan si kakak) cenderung menjatuhkan pilihan pada opsi kedua. Alasan utama adalah kualitas pendidikan, jarak, serta lingkungan yang aman dan nyaman untuk belajar. Tentang agama, kakak mantap. Setelah saya Tanya "bagaimana kakak, dengan pelajaran agamanya yang berbeda di sana?" Jawabannya luar biasa. Dia menjawab, "Insya Allah tidak masalah Ibu, Kakak menganggap pelajaran agama di sana sifatnya adalah wawasan, ilmu.". Oke. Kami pun langsung mendaftar dan membayar uang pangkalnya.
Selang beberapa minggu, mendekati bulan Juni. Tiba-tiba saja kakak terlihat galau. Saya tanyakan ada apa. Dia bertanya dengan nada yang agak lemas "Ibu..., kenapa kakak tiba-tiba jadi punya perasaan tidak enak yaa?" "Tidak enak bagaimana Kak?" Tanya saya. "Kakak takut kalau nanti kakak tidak cukup kuat, dan kakak sampai berpindah agama, apa ibu mau menemani kakak?" Jlegaaar... Bagai disambar petir, perasaan saya langsung kacau galau. Seketika itu juga, saya telepon ayah yang sedang di kantor. Akhirnya demi kebaikan semua, kami putuskan untuk tidak memaksakan pilihan tersebut dan berencana untuk kembali menjelajah mencari pilihan lain. Uang sekian juta, kandasss... Dan untuk mencari pilihan baru, ternyata tidak mudah. Sampai akhirnya, sudah awal Juni, kami mendapat dua informasi dalam waktu hamper bersamaan. Pertama, telah dibangun sebuah sekolah alam di lokasi yang tidak jauh dari lokasi sekolah Katolik yang kami batalkan. Kedua, ada sebuah sekolah nasional plus yang lokasinya Alhamdulillah, lumayan jauh. 8 km dari rumah. Haduuh... tidak tega sebenarnya.
Tapi survey tetap kami lakukan. Pertama Sekolah Alam. Alhamdulillaah... kakak suka sekali. Dan sesuai dengan idealism saya yang nature-oriented. Cocok. Lalu sekolah kedua. Sekolah nasional plus. SD Nasional Satu (Nassa). Kakak juga suka. Alhamdulillah. Kami pun menyerahkan pilihan kepada kakak. Dia bingung. Katanya, sekolah alam suasananya enak. Sementara Nassa, suasana belajarnya enak. Haaa... kami jadi ikut bingung deh.
Akhirnya, saya ingat, waktu TK B, kak Dhyani pernah ikut tes psikologi. Saya coba menghubugi pelaksana tes waktu itu, Bapak Wahyono, S.Psi. Saya tanyakan, apakah dari hasil tes waktu itu dapat dilakukan analisis untuk membantu mencari kriteria Sekolah Dasar yang sesuai dengan segala aspek karakter dan potensi anak. Ternyata bias. Oh, Thanks God! Akhirnya, via sms kami diberi arahan berdasar hasil tes yang pernah dilakukan. Kami disarankan mencari sekolah dengan kriteria: 1. Jumlah siswa maksimal 30 dalam satu kelas, dengan 2 guru. 2. Sekolah menyediakan berbagai wahana pengembangan potensi berupa kegiatan ekstra kurikuler untuk menyalurkan potensi yang dimiliki. 3. Suasana belajar yang terbuka, dua arah, dan bisa mengakomodasi sikap anak yang kritis.
Sementara, saya juga meminta second opinion (kayak berobat aja, hehe...) kepada seorang sahabat yang kebetulan seorang konsultan pendidikan. Pendapatnya berseberangan dengan psikolog. Dia menyarankan pilih sekolah alam. Jiaah... malah tambah bingung. Dan tanpa kami sadari, pembicaraan kami didengar oleh si kakak yang memahami kami cukup galau. Dia pun spontan bertutur "Di antara mereka berdua, mana yang ibu anggap lebih berpengalaman?" Gubraak... Malah kena deh. Akhirnya, karena keesokan paginya adalah hari terakhir batas pendaftaran siswa di salah satu pilihan, maka kami harus segera memilih. Kami pun akhirnya mempertimbangkan jam terbang sekolah sebagai dasar. Karena Nassa sudah berdiri sejak tahun 1984, sementara ketika itu sekolah alam baru tahun pertama, kami memilih Nassa. Dan setelah kami survey lebih dalam, semua kriteria yang diberikan psikolog, semua terpenuhi di sana. Alhamdulillah, galau pun berakhir.
Kini, kakak sudah di duduk di kelas 5. Setiap saat, kami tak lupa menanyakan apakah dia senang sekolah di sana. Jawabannya sangat memuaskan. Dan kami juga melihat dari perkembangan segala aspek yang dapat kami lihat. Dia mendapat teman-teman yang cukup baik untuk menumbuhkan integritasnya. Secara akademik, juga Alhamdulillah, semua berjalan wajar. Prestasi baik, tak juga berlebihan.
Sekilas tentang SD Nassa.
Sekolah ini adalah sekolah yang bermotto "Exploring Better Off". Setiap anak dihargai secara individu sesuai kekuatannya masing-masing. Secara rutin, sekolah mengadakan kegiatan "aksi" atau ajang kreasi, yang bertujuan menampilkan potensi anak sesuai bakatnya masing-masing. Dalam acara tersebut, seluruh orangtua diharapkan hadir. Tentu ini membuat anak-anak merasa senang, bangga, karena merasa dirinya diterima dan diakui sepenuhnya. Dalam penyampaian materi akademik, sekolah ini senantiasa melakukan pengembangan, di antaranya penerapan mind mapping dan visualisasi, serta auditori (lagu yang mereka ciptakan sendiri). Kegiatan ekstrakurikulernya juga beragam. Ada Seni Lukis, Paduan Suara (Gita Swara Nassa/GSN), Taekwondo, Teater, Paskibra, Futsal. Ohya. Jenjang pendidikan formal mulai dari TK, SD, SMP dan SMA.
Kak Dhyani memilih dua kegiatan pada awalnya, yaitu Seni Lukis dan Paduan Suara. Belakangan, karena cukup melelahkan, ia memfokuskan diri di Padus. Sebuah pengalaman berharga ia dapatkan ketika ia hampir terpilih dalam sebuah event internasional di Ghuang Zou. Audisi kesatu sampai ketiga lulus. Sayang, pada audisi terakhir, dimana saat itu ada dua orang peserta termuda, Dhyani dan Rassya, Dhyani gugur. Kakak sedikit kecewa. Tapi ada kelegaan di balik kesedihan saya waktu itu. Dan menjadi kesempatan indah bagi saya untuk menunjukkan kepada kakak, bahwa kami sangat menyayanginya. Terpilih atau tidak, kami tetap bangga padanya. Dan kami sampaikan padanya bahwa kakak sudah berhasil dalam dua hal. dalam berjuang, dan dalam menerima kegagalan. itu super. Dan kalimat-kalimat itu cukup mengobatinya. Momen itu juga sekaligus menjadi kesempatan bagi kakak untuk belajar bahwa seperti itulah seleksi yang professional. Dan hampir dalam setiap kompetisi internasional, Alhamdulillah GSN mendapat penghargaan emas. Jadi kita harus menghargai profesionalisme Kace (Kak Charles, pembimbing GSN) dalam event ini. Kakak pun memahami.
Bagi kami, kakak mau ikut Paduan Suara saja sudah merupakan kemajuan besar. Saya ingat betul, saat TK, Dhyani tidak pernah mau kalau diminta menyanyi. apalagi bila harus tampil di depan kelas. Paling tidak suka kalau jadi pusat perhatian. Oleh karena itu,wajar ketika ia gemetar saat audisi di depan audience yang berjumlah besar Ditambah lagi, lagu yang harus ia kuasai, cukup berat. Kami saja tak mampu mengajarkannya di rumah. Lagu Scarborough Fair, dimana kakak mendapat suara alto. Kami pun menyerah saat diminta memainkan lagu itu di rumah dengan keyboard. Walhasil, kakak pun mendapat pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman ini. Dan yang sngguh tak saya duga, adalah selang beberapa bulan kemudian, dia malah meminta les vocal.
Hari itu, sepulang mengantar sang adik yang les music di Purwacaraka Cibubur, kami melewati sebuah sekolah vocal bernama KBL (Karunia Bersama Lucky). Di depan terpasang spanduk bertuliskan "Free Trial". Kakak spontan minta. Kami coba mengantarnya trial. Saat itu ia dikenalkan dengan seorang guru bernama Stefany, dipanggil Miss Fanny. Langsung cocok. Saya tawarkan opsi beberapa kelas vocal di sekitar sana, dia bahkan tak tertarik. sudah jatuh hati rupanya pada sang guru.Dan dalam keadaan tak cukup longgar, kami upayakan agar kakak tetap bisa les di sana.
Sekian bulan berjalan. Kira-kira dua bulan sekali, kakak latihan tampil di atas panggung di Mal Ciputra Cibubur. Penampilan pertama, tangan dilipat di depan perut karena tegang. Saya geli melihatnya. Tapi salut kalau mengingat bagaimana dia di masa lalu yang sama sekali tidak suka tampil. Lagu berjudul "Bunda" menjadi pilihan sang guru sebagai lagu pertamanya. Penampilan berikutnya, adalah "Over the Rainbow". Masih sedikit tegang dia di atas panggung. Lumayan tidak melipat tangannya, tapi wajahnya masih terlihat tegang. Tapi Alhamdulillah, terlihat adanya kemajuan. Penampilan ketiga, dia sudah mulai punya keberanian untuk memilih lagunya sendiri. Single "Gift of A Friend" dari Demi Lovato menjadi pilihannya. Penampilan pertama keren. Mungkin karena lagu ini benar-benar pilihannya sehingga ia lebih nyaman dan bernyanyi dari hati. Tapi, berhubung lagunya cukup panjang, ia sempat lupa di tengah-tengah. Untunglah dia tidak trauma. Pada penampilan berikutnya, ia membawa contekan berupa tulisan di tangannya. Hahahaha... dan sukses, lancar.
Awal Bulan April 2014, setelah belajar kurang lebih selama 6 bulan, tibalah saatnya kakak dievaluasi. Tim penilai adalah guru-guru vocal dari sekolah yang sama namun berbeda cabang. Mereka semua berkumpul untuk menjadi komentator layaknya juri pada acara Indonesian Idol. Praktis para siswa menjadi tegang, dan rata-rata tampil tidak sebagus biasanya. Tapi itu justru tidak terjadi pada kakak. Alhamdulillah kakak santai, tenang. Padahal kalau lihat kostumnya, mmmm... paling lucu deh di antara yang lainnya. Casual sekali. Sepatu yang dipakainya saja sepatu yang sudah kumal, tak pernah dicuci, dan rusak pula bagian belakangnya karena terbiasa diinjaknya. Pokoke dia tak peduli apapun nasihat orang. Termasuk gurunya!
Tapi, apa yang terjadi? Pada akhirnya, ternyata penampilan kakak membuat surprise! Dia bernyanyi dengan gaya vokalnya yang meyakinkan, dan semua gaya naturalnya keluar. Tim penilai pun memberi apresiasi yang sangat baik. Mereka pun tak ragu merekomendasi gurunya agar menaikkan levelnya langsung ke middle, tanpa melalui basic 2. Tapi keputusan final belum dikeluarkan. Banyak pertimbangan dari pihak guru.
Dari kisah evaluasi ini, saya mendapat sebuah pelajaran berharga dari kakak. Bahwasannya, "appearance has nothing to do with the performance that is totally dedicated from the heart."
Ini sekilas cerita tentang sekolah kakak, yang sekaligus menjadi sekolah ibunya juga, sekolah kehidupan.
:)
Perjalanan dimulai ketika kak Dhyani jelang tamat masa bermain dan belajar di TK, yang saat itu kami pilihkan di lingkungan sekitar rumah karena kami baru saja pindah tempat tinggal. Ketika itu, informasi sekolah juga masih sangat minim. Jadi, yang terpenting bagi kami adalah memilihkan TK sebagai sarana bersosialisasi yang cukup aman, nyaman dan menyenangkan bagi kakak. Untungnya ada. Alhamdulillah sangat dekat, hanya berjarak 50 m dari rumah. Jadi bias dijadikan sebagai sarana kakak belajar mandiri tanpa rasa khawatir.
Periode yang cukup menyita energy adalah ketika kak Dhyani mengakhiri masa TK, dan kami mulai melakukan survey ke beberapa SD yang secara geografis lokasinya masih masuk akal dari tempat tinggal kami. Saat itu, saya sedang hamil besar anak kedua. Dari sekian sekolah yang kami observasi bersama, kami mendapat dua kandidat. Yang pertama adalah sekolah negeri unggulan, yang kedua adalah sekolah Katolik ternama. Setelah melalui diskusi mendalam, kami bertiga (saya, suami dan si kakak) cenderung menjatuhkan pilihan pada opsi kedua. Alasan utama adalah kualitas pendidikan, jarak, serta lingkungan yang aman dan nyaman untuk belajar. Tentang agama, kakak mantap. Setelah saya Tanya "bagaimana kakak, dengan pelajaran agamanya yang berbeda di sana?" Jawabannya luar biasa. Dia menjawab, "Insya Allah tidak masalah Ibu, Kakak menganggap pelajaran agama di sana sifatnya adalah wawasan, ilmu.". Oke. Kami pun langsung mendaftar dan membayar uang pangkalnya.
Selang beberapa minggu, mendekati bulan Juni. Tiba-tiba saja kakak terlihat galau. Saya tanyakan ada apa. Dia bertanya dengan nada yang agak lemas "Ibu..., kenapa kakak tiba-tiba jadi punya perasaan tidak enak yaa?" "Tidak enak bagaimana Kak?" Tanya saya. "Kakak takut kalau nanti kakak tidak cukup kuat, dan kakak sampai berpindah agama, apa ibu mau menemani kakak?" Jlegaaar... Bagai disambar petir, perasaan saya langsung kacau galau. Seketika itu juga, saya telepon ayah yang sedang di kantor. Akhirnya demi kebaikan semua, kami putuskan untuk tidak memaksakan pilihan tersebut dan berencana untuk kembali menjelajah mencari pilihan lain. Uang sekian juta, kandasss... Dan untuk mencari pilihan baru, ternyata tidak mudah. Sampai akhirnya, sudah awal Juni, kami mendapat dua informasi dalam waktu hamper bersamaan. Pertama, telah dibangun sebuah sekolah alam di lokasi yang tidak jauh dari lokasi sekolah Katolik yang kami batalkan. Kedua, ada sebuah sekolah nasional plus yang lokasinya Alhamdulillah, lumayan jauh. 8 km dari rumah. Haduuh... tidak tega sebenarnya.
Tapi survey tetap kami lakukan. Pertama Sekolah Alam. Alhamdulillaah... kakak suka sekali. Dan sesuai dengan idealism saya yang nature-oriented. Cocok. Lalu sekolah kedua. Sekolah nasional plus. SD Nasional Satu (Nassa). Kakak juga suka. Alhamdulillah. Kami pun menyerahkan pilihan kepada kakak. Dia bingung. Katanya, sekolah alam suasananya enak. Sementara Nassa, suasana belajarnya enak. Haaa... kami jadi ikut bingung deh.
Akhirnya, saya ingat, waktu TK B, kak Dhyani pernah ikut tes psikologi. Saya coba menghubugi pelaksana tes waktu itu, Bapak Wahyono, S.Psi. Saya tanyakan, apakah dari hasil tes waktu itu dapat dilakukan analisis untuk membantu mencari kriteria Sekolah Dasar yang sesuai dengan segala aspek karakter dan potensi anak. Ternyata bias. Oh, Thanks God! Akhirnya, via sms kami diberi arahan berdasar hasil tes yang pernah dilakukan. Kami disarankan mencari sekolah dengan kriteria: 1. Jumlah siswa maksimal 30 dalam satu kelas, dengan 2 guru. 2. Sekolah menyediakan berbagai wahana pengembangan potensi berupa kegiatan ekstra kurikuler untuk menyalurkan potensi yang dimiliki. 3. Suasana belajar yang terbuka, dua arah, dan bisa mengakomodasi sikap anak yang kritis.
Sementara, saya juga meminta second opinion (kayak berobat aja, hehe...) kepada seorang sahabat yang kebetulan seorang konsultan pendidikan. Pendapatnya berseberangan dengan psikolog. Dia menyarankan pilih sekolah alam. Jiaah... malah tambah bingung. Dan tanpa kami sadari, pembicaraan kami didengar oleh si kakak yang memahami kami cukup galau. Dia pun spontan bertutur "Di antara mereka berdua, mana yang ibu anggap lebih berpengalaman?" Gubraak... Malah kena deh. Akhirnya, karena keesokan paginya adalah hari terakhir batas pendaftaran siswa di salah satu pilihan, maka kami harus segera memilih. Kami pun akhirnya mempertimbangkan jam terbang sekolah sebagai dasar. Karena Nassa sudah berdiri sejak tahun 1984, sementara ketika itu sekolah alam baru tahun pertama, kami memilih Nassa. Dan setelah kami survey lebih dalam, semua kriteria yang diberikan psikolog, semua terpenuhi di sana. Alhamdulillah, galau pun berakhir.
Kini, kakak sudah di duduk di kelas 5. Setiap saat, kami tak lupa menanyakan apakah dia senang sekolah di sana. Jawabannya sangat memuaskan. Dan kami juga melihat dari perkembangan segala aspek yang dapat kami lihat. Dia mendapat teman-teman yang cukup baik untuk menumbuhkan integritasnya. Secara akademik, juga Alhamdulillah, semua berjalan wajar. Prestasi baik, tak juga berlebihan.
Sekilas tentang SD Nassa.
Sekolah ini adalah sekolah yang bermotto "Exploring Better Off". Setiap anak dihargai secara individu sesuai kekuatannya masing-masing. Secara rutin, sekolah mengadakan kegiatan "aksi" atau ajang kreasi, yang bertujuan menampilkan potensi anak sesuai bakatnya masing-masing. Dalam acara tersebut, seluruh orangtua diharapkan hadir. Tentu ini membuat anak-anak merasa senang, bangga, karena merasa dirinya diterima dan diakui sepenuhnya. Dalam penyampaian materi akademik, sekolah ini senantiasa melakukan pengembangan, di antaranya penerapan mind mapping dan visualisasi, serta auditori (lagu yang mereka ciptakan sendiri). Kegiatan ekstrakurikulernya juga beragam. Ada Seni Lukis, Paduan Suara (Gita Swara Nassa/GSN), Taekwondo, Teater, Paskibra, Futsal. Ohya. Jenjang pendidikan formal mulai dari TK, SD, SMP dan SMA.
Kak Dhyani memilih dua kegiatan pada awalnya, yaitu Seni Lukis dan Paduan Suara. Belakangan, karena cukup melelahkan, ia memfokuskan diri di Padus. Sebuah pengalaman berharga ia dapatkan ketika ia hampir terpilih dalam sebuah event internasional di Ghuang Zou. Audisi kesatu sampai ketiga lulus. Sayang, pada audisi terakhir, dimana saat itu ada dua orang peserta termuda, Dhyani dan Rassya, Dhyani gugur. Kakak sedikit kecewa. Tapi ada kelegaan di balik kesedihan saya waktu itu. Dan menjadi kesempatan indah bagi saya untuk menunjukkan kepada kakak, bahwa kami sangat menyayanginya. Terpilih atau tidak, kami tetap bangga padanya. Dan kami sampaikan padanya bahwa kakak sudah berhasil dalam dua hal. dalam berjuang, dan dalam menerima kegagalan. itu super. Dan kalimat-kalimat itu cukup mengobatinya. Momen itu juga sekaligus menjadi kesempatan bagi kakak untuk belajar bahwa seperti itulah seleksi yang professional. Dan hampir dalam setiap kompetisi internasional, Alhamdulillah GSN mendapat penghargaan emas. Jadi kita harus menghargai profesionalisme Kace (Kak Charles, pembimbing GSN) dalam event ini. Kakak pun memahami.
Bagi kami, kakak mau ikut Paduan Suara saja sudah merupakan kemajuan besar. Saya ingat betul, saat TK, Dhyani tidak pernah mau kalau diminta menyanyi. apalagi bila harus tampil di depan kelas. Paling tidak suka kalau jadi pusat perhatian. Oleh karena itu,wajar ketika ia gemetar saat audisi di depan audience yang berjumlah besar Ditambah lagi, lagu yang harus ia kuasai, cukup berat. Kami saja tak mampu mengajarkannya di rumah. Lagu Scarborough Fair, dimana kakak mendapat suara alto. Kami pun menyerah saat diminta memainkan lagu itu di rumah dengan keyboard. Walhasil, kakak pun mendapat pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman ini. Dan yang sngguh tak saya duga, adalah selang beberapa bulan kemudian, dia malah meminta les vocal.
Hari itu, sepulang mengantar sang adik yang les music di Purwacaraka Cibubur, kami melewati sebuah sekolah vocal bernama KBL (Karunia Bersama Lucky). Di depan terpasang spanduk bertuliskan "Free Trial". Kakak spontan minta. Kami coba mengantarnya trial. Saat itu ia dikenalkan dengan seorang guru bernama Stefany, dipanggil Miss Fanny. Langsung cocok. Saya tawarkan opsi beberapa kelas vocal di sekitar sana, dia bahkan tak tertarik. sudah jatuh hati rupanya pada sang guru.Dan dalam keadaan tak cukup longgar, kami upayakan agar kakak tetap bisa les di sana.
Sekian bulan berjalan. Kira-kira dua bulan sekali, kakak latihan tampil di atas panggung di Mal Ciputra Cibubur. Penampilan pertama, tangan dilipat di depan perut karena tegang. Saya geli melihatnya. Tapi salut kalau mengingat bagaimana dia di masa lalu yang sama sekali tidak suka tampil. Lagu berjudul "Bunda" menjadi pilihan sang guru sebagai lagu pertamanya. Penampilan berikutnya, adalah "Over the Rainbow". Masih sedikit tegang dia di atas panggung. Lumayan tidak melipat tangannya, tapi wajahnya masih terlihat tegang. Tapi Alhamdulillah, terlihat adanya kemajuan. Penampilan ketiga, dia sudah mulai punya keberanian untuk memilih lagunya sendiri. Single "Gift of A Friend" dari Demi Lovato menjadi pilihannya. Penampilan pertama keren. Mungkin karena lagu ini benar-benar pilihannya sehingga ia lebih nyaman dan bernyanyi dari hati. Tapi, berhubung lagunya cukup panjang, ia sempat lupa di tengah-tengah. Untunglah dia tidak trauma. Pada penampilan berikutnya, ia membawa contekan berupa tulisan di tangannya. Hahahaha... dan sukses, lancar.
Awal Bulan April 2014, setelah belajar kurang lebih selama 6 bulan, tibalah saatnya kakak dievaluasi. Tim penilai adalah guru-guru vocal dari sekolah yang sama namun berbeda cabang. Mereka semua berkumpul untuk menjadi komentator layaknya juri pada acara Indonesian Idol. Praktis para siswa menjadi tegang, dan rata-rata tampil tidak sebagus biasanya. Tapi itu justru tidak terjadi pada kakak. Alhamdulillah kakak santai, tenang. Padahal kalau lihat kostumnya, mmmm... paling lucu deh di antara yang lainnya. Casual sekali. Sepatu yang dipakainya saja sepatu yang sudah kumal, tak pernah dicuci, dan rusak pula bagian belakangnya karena terbiasa diinjaknya. Pokoke dia tak peduli apapun nasihat orang. Termasuk gurunya!
Tapi, apa yang terjadi? Pada akhirnya, ternyata penampilan kakak membuat surprise! Dia bernyanyi dengan gaya vokalnya yang meyakinkan, dan semua gaya naturalnya keluar. Tim penilai pun memberi apresiasi yang sangat baik. Mereka pun tak ragu merekomendasi gurunya agar menaikkan levelnya langsung ke middle, tanpa melalui basic 2. Tapi keputusan final belum dikeluarkan. Banyak pertimbangan dari pihak guru.
Dari kisah evaluasi ini, saya mendapat sebuah pelajaran berharga dari kakak. Bahwasannya, "appearance has nothing to do with the performance that is totally dedicated from the heart."
Ini sekilas cerita tentang sekolah kakak, yang sekaligus menjadi sekolah ibunya juga, sekolah kehidupan.
:)